marque

Sudahkah Anda membaca Hari ini?

head

Mahasiswa, agent of change?

Oleh : Titus Umbu Jr


Peristiwa selalu menghadirkan coretan emas, coretan emas itu adalah sejarah. Gerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan tak terelakkan lagi, dari setiap peristiwa politik pasti melibatkan mahasiswa. Tak salah jika mahasiswa menyandang gelar agent of change (agen perubahan) atau “kaum intelektual”. Peristiwa besar di indonesia yang berhasil dicatat sejarah adalah reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter Soeharto.
Lebih besar dari pada itu, sejarah tak dapat berbohong untuk menyatakan begitu urgennya peran mahasiswa dalam melakukan perubahan selama ini. Sejarah perjuangan bangsa indonesia tak lepas dari peran kaum intelektual, sebut saja Soekarno, M.Hatta, Syahrir, M. Natsir dan lainnya. Mereka adalah representasi dari masyarakat akademik yang keluar sebagai tokoh perjuangan.
Founding father kita mendapatkan gagasan dan ide brilian ketika mereka berdialektika didunia kampus. Karena merasa begitu pentingnya posisi mahasiswa itulah sehingga Soekarno bertekad untuk membangun karakter bangsa dengan “pondation of education”. Inilah sesungguhnya mahasiswa ideal menurut founding father kita. Mahasiswa adalah pondasi yang kuat untuk menopang bangsa ini.
Sesungguhnya mahasiswa hadir sebagai anti kemapanan atau kritisisme, bangsa ini membutuhkan konstribusi nyata dari para intelek yang terpanggil jiwanya untuk menopang bangsa ini. Mahasiswa tidak saja sebagai “anjing penggonggong”, melainkan juga sebagai aktor yang mampu mengemudi bangsa ini. Mahasiswalah yang mempunyai peran penting untuk masa depan bangsa kita.
Namun, perubahan sosial yang begitu tajam telah menguburkan mahasiswa dalam kabut gelapnya. Sejak peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa nyaris tak terlihat. Idealisme mahasiswa telah terkuras oleh zaman yang berubah. Pada tahun 1998 hampir semua mahasiswa dipenjuru tanah air berjuang untuk melakukan reformasi.
Ketika misi reformasi berhasil di realisasikan dan demokrasi sebagai jawaban kongkritnya, maka bersama itu pula pergerakan mahasiswa mulai hilang dan tertelan oleh demokrasi itu sendiri. Tak ada lagi perjuangan idiologis yang terlihat, kecuali perjuangan untuk menyukseskan kepentingan golongan tertentu. Semangat keberamaan untuk melakukan perubahan secara bersama tak lagi nampak, semuanya bahkan tanpa puing-puingnya, remuk dan tak berbentuk lagi.
Terkurasnya peran mahasiswa
Indikator yang dapat memerkuat argumen terkikisnya peran mahasiswa dapat kita lihat dari respek masyarakat terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Ruang, waktu dan kondisi telah menggeser peran mahasiswa. Setelah keberhasilan mahasiswa dalam membubuhkan catatan emas ketika merebut demokrasi, maka bersama itu pula peran mahasiswa tak lagi sepenting dulu.
Mahasiswa dapat kita ibaratkan seorang advokasi, seorang advokad melakukan pembelaan terhadap kliennya, dan ketika masalah kliennya terselesaikan maka ia akan pergi dan mencari pekerjaan lain. Hal yang sama terdapat pada mahasiswa, mahasiswa adalah para advokad yang membela masyarakat tertindas oleh kekuasaan, namun ketika kekuasaan itu berhasil diruntuhkan maka mahasiswapun beralih pekerjaan (back to campus).
Hal ini terjadi karena dalam sistem demokrasi memberikan hak yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan perubahan, setiap tindak ketidakadilan yang mereka alami dapat melakukan pembelaan sendiri. Dari sinilah peran mahasiswa tak lagi “dibutuhkan” masyarakat.
Karena peran mahasiswa tak lagi dianggap urgen, maka mahasiswapun beralih ketempat lain. Pekerjaan baru yang dilakukan mahasiswa tidak lagi melawan kekuasaan atau orang lain, melainkan mahasiswa harus berusaha melawan diri sendiri. Setelah musuh bersama itu dikalahkan dengan serangan kolektif mahasiswa, maka mahasiswa mendapat attact (serangan balik). Serangan itu adalah globalisasi, derasnya arus globalisasi membawa dampak yang sangat membahayakan aktivis mahasiswa.
Globalisasi memang membawa dampak yang positif, tetapi juga mengandung dampak negatif. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu mudah untuk diakses sangat membawa dampak positif bagi pergerakan mahasiswa, sebab dengan teknologi itulah para mahasiswa dengan mudah mendapatkan data-data yang akurat demi melakukan pergerakan. Namun terjadi distorsi ketika pada saat yang sama teknologi juga membawa dampak yang negatif.
Konsep modernisme yang dianggap dehumanis akan menjadi ancaman utama bagi gerakan mahasiswa. Hidup mewah yang ditawarkan modernisme yang dipelopori oleh semangat globalisasi akan menggiring mahasiswa untuk hidup individualis, hedonis dan konsumtif. Gaya hidup baru ini tentu saja jadi kabar buruk bagi pergerakan mahasiswa.
Ketika hedonisme masuk dan mulai merasuk dalam setiap pribadi mahasiswa, yang ada mahasiswa semakin apatis terahadap kepentingan negara dan masyarakatnya. Sehingga musuh bersama setiap gerakan mahasiswa yang mempunyai nilai kebaikan telah jelas, yaitu melawan diri pribadi untuk tidak terjebak oleh godaan globalisasi.
Globalisasi itu sangat banyak ragamnya, ia bisa hadir dalam bentuk apa saja, sebagai anak dari globalisasi adalah neo-liberalisme, paham baru ini menekankan pada persaingan ekonomi belaka. Sehingga peran negara sangat sempit untuk mengatur kehidupan bangsanya. Setiap individu akan dituntut terus bersaing di pasar, sehingga kekuasaan itu tak lagi dilirik karena takut ketinggal kereta.
Masyarakat miskin akan terus tertindas oleh yang kaya. Kekuasaan tak lagi terletak pada negara, melainkan pada pemilik modal yang menentukan arah bangsa. Demokrasi yang melibatkan masyarakat sebagai penyelenggara negara hanya retorika belaka, toh yang bermodal dan dekat dengan kekuasaan itulah yang memiliki akses terhadap sumber kekuasaan.
Kondisi negri kita semakin memprihatinkan, sedangkan gerakan mahasiswa dalam keadaan kritis, eksistensinya semakin tergerus oleh gaya hidup manusia sekarang. Dengan demikian sudah saatnya gerakan mahasiswa melakukan tindak penyadaran dalam internal mahasiswa. Rekonstruksi gerakan mahasiswa harus segera dilakukan bila ingin tetap eksis.
Inilah kenyataan hidup kita sekarang kawan. Tangisilah diri kita, telanjangilah dan koreksilah setiap apa yang tersisip diselangkangan kita. Masihkah mahasiswa itu menjadi agent perubahan?. Pertanyaan ini bukan tanpa sebab kawan, taring mahasiswa tak lagi cukup tajam untuk menggigit, tulang-tulang kita telah keropos termakan rayap, dan tinggal “onani” yang tak pernah memuaskan libido. Reformasi belum berakhir kawan!

Titus Umbu Jr
Mahasiswa ilmu pemerintahan
STPMD"APMD" Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar