marque

Sudahkah Anda membaca Hari ini?

head

Otonomi daerah, milik rakyat atau elit lokal?

Oleh : Titus Umbu Jr


Dalam rangka melaksanakan pemerintahan yang efektif dan efisien, keberadaan pemerintahan lokal sangat dibutuhkan. Pemerintahan lokal sangat strategis untuk menyelenggarakan pemerintahan yang melayani hingga pada pelosok desa. Salah satunya, penyelenggaraan pemilihan langsung kepala daerah merupakan terobosasn baru untuk terbentuknya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat didaerah, bukan lagi hasil dari konspirasi politik elite lokal atau bentuk kepentingan pemerintah pusat atas daerah.
Setelah reformasi mei 1998, posisi daerah sedikit banyak telah menghadirkan perubahan yang sangat berarti. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang salah satunya mengamanatkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dalam undang-undang ini menganut sistem perwakilan. Setalah dipraktekkan selama satu periode, kembali direvisi dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang memberikan peluang masyarakat untuk memilih secara langsung bupati/walikota.
Dalam undang-undang ini menganut sistem pemilihan langsung. Namun lahirnya kedua regulasi diatas ternyata belum sanggup membawa daerah untuk mematangkan demokrasi ditingkat lokal. Bahkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004, yang menganut demokrasi langsug. DPRD dan partai politik tetap saja menjadi aktor utama dalam pemilihan bupati / walikota. Sebabnya, pemilihan kepala daerah memang dilakukan secara langsung, tetapi pasangan calon harus diusulkan partai politik atau koalisi dari berbagai partai di DPRD.
Artinya, dalih untuk mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat, tetapi malah melahirkan kekuasaan elite-elite lokal. Akibatnya, dengan besarnya kekuasaan partai politik dalam pemilihan kepala daerah akan mengakibatkan tujuan otonomi daerah untuk rakyat bergeser menjadi kekuasaan para elite lokal. Maka dapat dikatakan bahwa kemengan seorang kandidat dalam pemilihan langsung kepala daerah, adalah kemengan partai pengusung dan koalisinya. Bukan lagi kemenangan masyarakat sebagai pemilih.
Iwan fals dalam lirik lagunya “memilih para juara”. Seorang juara lahir dari hasil kompetisi yang diberi nilai oleh para juri. Saya analogikan pemenang dalam pilkada layaknya seorang petinju yang juara karena mendapat nilai banyak dari para juri dan yang turut merayakannya adalah para penggemarnya. Dalam konteks pemilihan langsung kepala daerah, para juri adalah masyarakatnya, pemenang adalah kandidatnya yang terpilih, serta yang turut merasakan kegembiraan adalah partai pengusung dan koalisinya, lebih ironis lagi yang menikmati kekuasaan itu justru para elite lokal.
Karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi harus di evaluasi kembali, sebagai rekomendasi penulis. (1) Masyarakat sebagai aktor utama dalam pemilihan kepala daerah harus benar-benar menjadi pilar yang memilih dengan kesadaran politik yang tinggi. (2) Partai politik memiliki fungsi sosialisasi politik, maka dari itu parati politik harus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, tidak hanya muncul pada saat kampanye. (3) Pers memiliki fungsi edukasi, fungsi tersebut harus dilakukan agar memberikan pemahaman politik bagi masyarakat.
(4) LSM memiliki fungsi pemberdayaan, maka LSM harus memberdayakan masyarakat agar memiliki kesadaran politik. (5) Negara dalam hal ini pemerintah pusat harus memberikan peluang yang besar bagi elit lokal untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Karena itulah misi utama dari konsep otonomi daerah. Bila kelima aktor seperti dalam rekomendasi ini menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, maka tidaklah mustahil pemilihan langsung kepala daerah akan benar-benar membawa dampak yang sangat berarti bagi masyarakat lokal.

Titus Umbu Jr
Mahasiswa ilmu pemerintahan
STPMD"APMD" Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar