marque

Sudahkah Anda membaca Hari ini?

head

Meneropong moralitas dengan Relativisme kultural

Oleh : Titus Umbu Jr


Kaum relativisme kultural berpandangan bahwa apa yang benar dan salah, baik dan jahat, tergantung seluruhnya pada masyarakat tempat anda hidup (Jenny Teichman, 1998;10).
Masyarakat yang heterogengen seperti indonesia memiliki potensi kuat untuk mendukung gagasan diatas, pasalnya kaum relativisme kultural beranggapan bahwa masyarakat yang berbeda-beda mempunyai batasan perilaku yang berbeda dan menyimpulkan bahwa moralitas ada pada dirinya.
Apa yang baik menurut hukum (bukan Undang-Undang) masyarakat di Sumatra Barat belum tentu sama seperti di Papua atau di daerah lainnnya. Hukum tidaklah identik dengan undang-undang, namun undang-undang pastilah hukum. Karena itu hukum yang benar adalah hukum yang lahir dari masyarakat itu sendiri dan diakui bersama oleh masyarakat sekitar bahwa hukum yang ada dalam lingkungan mereka merupakan pengatur moral masyarakat dalam komunitasnya.
Relativisme kultural tidak menghendaki adanya prinsip menghakimi komunitas lain. Dikatakan bahwa tidak ada kebenaran atau kesalahan diatas atau melampaui norma-norma sosial dan tak ada jalan untuk membandingkan atau mengelompokkan norma-norma sosial yang berbeda secara objektif (sekalipun semuanya mengandung kebaikan).
Dalam pandangan relativisme kultural tak ada alasan untuk mengatakan komunitas lain tak bermoral dengan menggunakan tata tertib komunitasnya sendiri, hal ini tak lain adalah imperialisme kultural. Paling baik menurut kaum relativisme kultural adalah tidak menghakimi siapapun karena ukuran moralitas yang kita gunakan bahkan belum tentu satu pandang dengan orang lain yang satu daerah dengan kita, jika orang itu beda komunitas.
Fakta adanya perbedaan kultural di indonesia tak terelakkan lagi, berbagai kajian antropologis telah banyak dihasilkan yang menggambarkan begitu ragamnya budaya indonesia. Namun jika kita menganut relativisme kultural, apakah masalah sosial di indonesia bisa terselesaikan?. Jawabannya belum tentu (relatif).
Di indonesia memang kita harus akui adanya perbedaan kultur dalam masyarakat, namun dalam perbedaan itu, ada juga nilai-nilai yang dianggap sebagai aturan yang patut ditaati bersama. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai produk undang-undang yang mengatur tentang masyarakat dan itu diakui bersama seluruh masyarakat indonesia (dari sabang sampai merauke).
Aturan universal dalam negara ini menunjukkan bahwa relativisme di indonesia tidak dianut sepenuhnya. Namun dalam hal lain banyak praktik relativisme kita temukan dalam berbagai kasus. Contoh ; di Papua berlakunya hukum adat dan di Aceh yang menggunakan hukum syariah. Ini sedikit contoh yang menggambarkan relativisme kultural di indonesia.
Kasus lain, misalnya undang-undang pornografi mengundang kontroversi dalam masyarakat karena menggunakan perspektif komunitasnya. Masyarakat Aceh tentunya setuju dengan undang-undang ini karena secara religius dan kehidupan sosialnya berbeda dengan masyarakat Papua yang masyarakatnya masih menghargai pakaian tradisional (koteka). Selain itu, perbedaan perspektif atas pornografi-porno aksi merupakan gambaran nyata dari heterogennya budaya masyarakat indonesia.
Dari pemikiran relativisme kultural ini dapat kita katakan bahwa tidak ada penilaian objektif yang diakui dalam paham ini. Menurut asiomanya, memberikan penilaian objektif tidaklah mungkin karena orang yang menilai pasti beranggapan objektif, tapi bagaimana dengan orang lain?. Intinya, relativisme kultural tidak ingin mengambil reziko atas urusan moralitas, sehingga segala konsekuensi yang bakal timbul selalu dihindarinya.
Setelah membaca sedikit pemaparan diatas, mana yang cocok untuk di implementasikan indonesia, relativisme kultural atau pluralisme?. Menurutku “RELATIF”.

Titus Umbu Jr
Mahasiswa ilmu pemerintahan
STPMD"APMD" Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar